BaliBudaya - Purnama sasih kapat, yang jatuh pada
Budha Kliwen, Sinta (8/10) sekarang, dianggap sebagai hari terbaik
melaksanakan upacara Dewa Yadnya di Bali. Meski hari-hari dan sasih-sasih
lainnya juga baik. Diyakini, selama satu bulan ke depan sejak purnama, vibrasi
dari dewasa baik ini, yang ditandai bunga-bunga mulai mekar, masih pada siklus
kartika massa. Momen ini di Bali disambut sebagai hari penuh berkah dan
kesucian.
Purnama sasih kapat itu jika ditelah dari konsep
lunar-solar sistem, bulan-matahari. Keberadaan bulan kebetulan persis berada
pada posisi garis lurus di atas katulistiwa. Jadi pada momen fenomena alam
seperti itu, bulan bersinar penuh. Secara filosofis sangat baik untuk
melaksanakan upacara Dewa Yadnya. Betapa tidak, pada saat itu suasana alam
sangat indah. Vibrasi dan atmosfer bumi sangat kondusif, mendukung pendakian
spiritualitas para sadhaka. Suasana alam itu ditandai mulai muncul
gerimis atau istilahnya riris, selain itu bunga-bunga mulai mekar, semerbak
mewangi, berselimut kabut setelah masa kemarau panjang berlalu. ''Momen seperti
itulah sebagai hari terbaik untuk upacara Dewa Yadnya.
Hari terberkati seperti itu tidak saja dimaknai
secara mendalam oleh masyarakat kebanyakan. Para kawi juga berkreativitas
menuangkan imajinasinya secara intens. Para kawi malah melakukan perjalanan
suci, berkelana mencari inspirasi ke gunung dan laut, yang lumrah disebut
nyegara giri atau pasir-ukir. Di pesisir, pohon-pohon pandan atau pudak
mulai mekar berbunga. Para kawi merenung melakukan ekagrata -- memusatkan
pikiran -- memuja Dewa Smara -- Dewa Keindahan -- yang tiada lain adalah Hyang
Hyaning Kartika atau dikenal sebagai Dewa Bulan. Aktivitas, yoga sastra yang
dilakukan para kawi itu merefleksikan ada suatu laku kosentrasi aksara pada
ujung pengutik. Memang pada saat proses yoga sastra, para kawi itu masih
sifatnya dualitas. Akan tetapi pemusatan pikiran lewat perenungan mendalam dan
terpusat sangat lama para kawi itu pada hakikatnya bertujuan mencari adwaita
ananda atau penyatuan kebahagiaan.


